Abah, Dullah dan Rosyid
Abah, Dullah dan Rosyid
Sinopsis
: Akhirnya Dulah dan Rosyid, kakak beradik anak abah Kasid, menjadi apa
yang pernah mereka katakan padaku ketika mereka masih bocah. Menjadi
nelayan mengikuti jejak saudara-saudara tuanya, Dayat dan Surip. Mereka
tak berdaya melawan tradisi, tradisi kemiskinan yang turun- temurun.
***********
Seorang
tukang ojek yang nampaknya sudah cukup profesional mengantarkan aku
menuju ke kediaman abah yang terletak sekitar 3 km dari jalan raya.
Kendaraan yang beroperasi ke arah sana mayoritas ojek. Pada jam-jam yang
sangat tertentu ada juga mobil angkutan umum yaitu pada pagi buta dan
sore menjelang matahari beristirahat di peraduannya. Tapi
kendaraan-kendaraan itupun sangat terbatas jumlahnya dan hanya numpang
lewat karena memang mereka beroperasi untuk tujuan jarak jauh.. Tentu
saja warga kampug tidak bisa mengandalkannya jika ingin bepergian
sewaktu-waktu.
Dari
kota aku segera meluncur menuju ke kampung abah sesaat setelah aku
bertemu Ningsih dan mendapat sebuah kabar tentang abah. Ya abah telah
berpulang. Kali ini benar-benar Abah Kasid yang meninggal. Aku tak ragu
lagi, benar-benar Abah Kasid. Sebab Ningsih sendiri turut melayat
jenazahnya sebelum dimakamkan.
Setahun yang lalu pernah aku kecelek
ketika mendengar berita duka. Ketika aku bertemu Ratna dengan wajah
yang digelayuti awan hitam dia berkata, ” Ti, abah meninggal….”.
“Apa Rat, abah meninggal?” Tanyaku kaget bukan kepalang dan segera ada lara yang menelusup ke dalam jiwa.
“Iya Ti abah ninggal.” Ratna kembali menegaskan kedukaannya padaku.
“Emang sakit apa?” Tanyaku tak sabar.
“sakit lever.”
“Oya? Trus kapan ninggalnya Rat?”
“Sebulan yang lalu, Ti.”
“Udah
sebulan Rat? Kok aku gak dikabarin sih, tega banget ya orang-orang itu.
Trus anak-anak abah gemana? Teh Sani apa masih tinggal di rumah abah?”
Tanyaku beruntun.
“Teh Sani? Maksud lo? Kok bawa-bawa Teh Sani? Apa hubungannya sama abahku?” Ratna heran.
“Jadi yang ninnggal abah siapa Rat? Tanyaku tak kalah heran dari Ratna.
“Ya abahku lah. Masak Abah Kasid, abahnya Teh Sani.”
“Ya
ampun Rat dari tadi aku kira yang ninggal Abah Kasid. Aku dah sedih
banget Rat. Pantes aja aneh kalau ternyata abah Kasid yang ninggal kok
kamu yang sedih, Rat.” Agak kurang sadar aku mengucapkan kata-kata itu
kepada Ratna.
” Jadi kalau abahku yang ninggal kamu gak da sedih-sidihnya ya?”
“Ya sedih juga sih Rat. Kalau gitu aku minta maaf deh, dan terimalah ucapan belasungkawa dariku.”
“Ukh dah garing, Ti.”
Tanpa
terasa motor yang kutumpangi telah sampai pada sebuah pekuburan yang
terletak didekat jalan. Di tempat inilah masyarakat sekitar termasuk
warga di lingkungan abah Kasid dimakamkan jika ada yang meninggal.
Dengan seksama aku mencermati makam-makam yang masih baru dan
menduga-duga yang mana gerangan makam abah. Dan aku tidak bisa
menebaknya karena ada beberapa makam baru di situ.
Aku
tidak berusaha turun dari motor dan menziarahi makam abah karena aku
ingin cepat sampai ke tempat tujuan. Aku lihat suasana rumah abah ramai
oleh kehadiran para tetangga. Aku segera turun dari motor dan membayar
ongkos ojek.
Mendengar
ada suara motor yang datang beberapa orang keluar dari rumah guna
melihat siapa yang datang. Imah, anak abah nomor 5 keluar dan menyambut
kedatanganku. Dia memelukku sambil menangis.
“Abah dah pergi Mbak.” Kata Imah sambil terisak memelukkku.
“Iya
Mah aku dengar berita ini dari Ningsih tadi pagi. Setelah dengar berita
itu aku langsung ke sini Mah.tapi ngomong-ngomong ini sedang ada acara
apa, Mah?”
“Ini acara memperingati 40 hari meninggalnya abah?” Sambil terus terisak gadis yang bertubuh gemuk itu menjelaskannya padaku.
Tak lama kemudian keluarlah emak dari ruang tengah menemuiku dan langsung memelukku sambil menangis.
“Kemana aja kamu, Ti, gak pernah nongol? Sebelum pergi abah nanyain kamu terus. Kemana ya si Siti kok gak pernah nengok kita. Abah kangen sama anak itu.”
Sambil berlinangan air mata perempuan berumur sekitar 60-an itu terus
bercerita padaku tentang kronologis meninggalnya abah Kasid.
Abah
sakit paru-paru. Tubuhnya sangat kurus. Dia kambuh selama dua minggu.
Sudah dibawa ke RSUD dan salah satu rumah sakit swasta di kota. Tapi
nyawa abah tidak tertolong. Sakitnya sudah parah selain juga karena
memang sudah ajalnya.
Mendengar
cerita emak barusan aku sedih, merasa bersalah dan menyesal. Sedih
karena telah berpisah dengan abah untuk selama-lamanya; merasa bersalah
karena selama ini aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri sehingga tak
pernah mengunjungi abah dan keluarganya; dan menyesal karena tak sempat
bertemu dengan abah untuk yang terakhir kalinya. Dan yang lebih
kusesalkan adalah aku tidak tahu apakah menjelang akhir hayatnya abah
sudah menunaikan ibadah sholat atau belum.
Bersambung …..
Comments
Post a Comment